Your logo Here

20.1.09

Membayangkan Yogyakarta

by Your Name 0 comments

Tag


Share this post:
Design Float
StumbleUpon
Reddit

Adakah Impian seorang warga tentang suatu kota yang dianggap bisa dinikmati dengan enak sebagai suatu wishful thinking,impian di siang hari bolong, pelarian dari kenyataan kehidupan sehari-hari, frozen into nostalgia, membeku pada masa lalu? Warga sebagai pembayar pajak sesungguhnya bukan hanya berhak bertanya, tetapi juga berkewajiban untuk menggugat. Untuk itulah jika saya kini berusaha membayangakan Yogyakarta yang rindang san asap kendaraan bermotor kian susut dan dada terasa enak, lega dan mata tidak perih kena debu dan asap motor-mobil, san berjalan bisa dengan santai, serta tidak takut diserempet dengan mobil-motor dan trotoar, side walk leluasa dan warung-waruk tak sakepenake dhewe membuang bekas banyu isah-isah di tempat orang lalu lalang. Jika impian sekaligus usaha memgugat kondisi Yogyakarta kini saya lakukan, karena belum pernah menikmati Yogyakarta seperti yang saya impikan.

Bukankah pada akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an Yogyakarta bisa dengan enak dinikmati, tidak seperti sekarang. Untuk menggugat kondisi Yogyakarta sekarang ini kita perlu menjadi seorang pakar lingkungan. Silakan jalan dari Stasiun Tugu ke arah Tugu atau ke Pasar (Lu)being harjo, melintasi Malioboro maka hidung dan mata kita terasa pedih, seperti kita mengalami di jalan Cornel Simajuntak, P. Diponegoro, Brigjen Katamso dan beberapa ruas jalan lainnya yang membuat kulit kita dengan sekejap disergap oleh udara dan debu. Sementara itu telinga kita tidak bisa lowong dari deru kendaraan, klakson yang tak pernah berhenti dari tugasnya yang dibebankan secara berlebihan.

Impian saya mungkin tak pernah didenganoleh ‘wakil rakyat’ dan kalanga ekslusif yang selalu teriak ‘atas nama dan kehendak rakyat’ ketika mereka pidato pada masa kampanye, atau ketika mereka diwawancarai oleh media massa. Aneh bin ajaib, apakah mereka tidak tahu terhadap kondisi yang dihadapi oleh warga kota. Atau mereka menganggap seperti rumah, kendaraan dan kantor mereka sudah dipenuhi oleh penyejuk udara dan itu suatu ‘kenikmatan’ yang telah membutatulikan mereka, menjadi bebal lantaran jadi kere munggah bale?

Yogyakarta kini menjadi belantara bangunan fisik yang didorong oleh syahwat politik ekonomi atas nama kemajuan zaman yang kini membuat orang sesak untuk bernafas. Kesesakan itu bukan hanya berpengaruh secara fisik, juga pikiran perasaan kita beserta benih bayi dan anak-anak yang kini sedang tumbuh berkembang yang akan kian susut dalam kapasitas pertumbuhannya. Dengan kata lain, perkembangan urban areas, tata ruang perkotaan yang tidak didasarkan kepadakesadaran lingkungan, ekologis, akan mengakibatkan suatu degradasi bagi generasi yang akan datang di dalam pertumbuhan dan pengembangan kecerdasan emosional dan intelektual dan menciptakan atak yang yang tak sabaran, mudah marah.

Secara praktis, Yogyakarta yang mengemban masa lampau yang mengemban begitu banyak khasanah tradisi dan hal itulah yang diagul-agulkan. Dalam dunia pariwisata, yang kini menjadi pertanyaan kita adakah khasanah tradisi itu hanya sekedar dijadikan kembang lambe bagi kalangan turis, dan kita tidak pernah belajar dari masa lampau tentang suatu lingkungan yang lebih baik, jika sesungguhnya secara ekonomis akan lebuh bermanfaat: potensi manusia yang akan berkembang dengan baik sebagai sumber dari segala sumber untuk menciptakan kebudayaan? Kenapa pula isyarat zaman melalui gempa bumi di Yogyakarta tidakditangkap sebagai pertanda ekologi Yogyakarta yang kini kian bubrah?

Membayangkan Yogyakarta yang rindang, sejuk bukan lantaran Air Conditioning bukanlah –meninjam ungkapan Eduardo Galeano, penulis Uruguay – Frozen Into Nostalgia, namun harapan untuk masa depan, harapan kepada penciptaan kebudayaan yang berangkat dari benih dan anak-anak yang kini tumbuh berkemnang. Merekalah pemilik yang akan datang itu, yang jika kita bergeming denga cara berfikir binatang ekonomi, maka bukan hanya sumpah serapah. Tapi, corengan sejarah hitam dari suatu zaman yang tidak eling lan, waspodo. Saya juga baru membayangkan bagaimana Yogyakarta tidak dipimpin Sultan HB X? Semakin beradap atau sebaliknya?

Comments 0 comments

My Name Here
A short description here
youremail@here.com

Subscribe feeds via e-mail
Subscribe in your preferred RSS reader

Subscribe feeds rss Recent Entries

Advertise on this site Sponsored links

Categories

Sponsored Links

My Photos on flickr

Subscribe feeds rss Recent Comments

Technorati

Technorati
My authority on technorati
Add this blog to your faves